Erupsi Semeru, Ini Catatanku, Semoga Tidak Menodai Catatanmu

Oleh: Zainul Arifin

Waktu saya memimpin rapat penunjukan ketua tim peduli untuk erupsi Semeru, sebenarnya dalam pikiran ada rasa bingung untuk memulai dan membuka materi rapat, saya juga punya rasa kawatir, kalau yang sementara kita anggap perbuatan mulia ini ternyata memberatkan perasaan guru atau bahkan melukai hati mereka.

 

Seperti kepala madrasah, saya juga takut langkah ini menjadi sesuatu membebani orang lain.

 

Tapi karena ini tugas yang harus saya lakukan, dengan besar hati akhirnya saya mencoba menaklukkan rasa _was was_ itu, ya, _bismillah_ saya kerjakan, pak Abdi di waktu yang bersamaan ada acara di kantor kemenag Probolinggo.

 

Saya meyakinkan diri saya, bahwa madrasah apalagi kepala madrasah tidak bermaksud sama sekali ingin mengusik ketenangan mereka di madrasah ini.

 

Dan ternyata akhirnya , kekawatiran saya ini sepertinya memang betul betul tidak terbukti, besok harinya saya tanya kepada salah seorang guru yang ikut rapat di ruang guru itu.

 

“Tidak pak, tidak sama sekali, kita senang kok,” ujarnya, yang membuat saya semakin tenang.

 

Di waktu rapat, saat saya minta untuk ada yang siap menjadi ketua Tim, ternyata bagitu sulitnya, hampir semua yang ditunjuk oleh peserta rapat dipastikan menolak.

 

“Maaf ya, jangan saya, coba yang lain saja,” ini jawaban salah satu guru yang menunjukkan ketidak sukaanya ditunjuk sebagai ketua, jawaban guru yang lain tidak jauh berbeda.

 

Mungkin waktu itu karena emosi saya tertekan, sempat muncul egoisme saya, malah dalam hati kecil muncul rasa bangga tersendiri.

 

“Nanti kalau tidak ada yang mau sama sekali, saya tidak perlu kecewa, saya sudah punya tim hebat, akan saya delegasikan tugas ini kepada TCC, karena dalam kamus komunitas ini tidak dikenal kata ” sulit dan tidak mau” saya yakin mereka akan menjalani dengan baik,” gumam yang terlintas dalam perasaan saya kala itu.

 

Tapi akhirnya ada pak Amali, satu satunya guru yang ketika ditunjuk tidak menolak, saya harus berterma kasih kepada pak Amali, sudah siap berkeringat untuk kebaikan bersama.

 

Bagi anda yang lagi baca tulisan saya ini tidak boleh _suuddzan_ dulu ya, teman guru yang ditunjuk jadi ketua tidak mau, bukan berarti menolak amanah, mereka menolak mungkin karena ada keyakinan dalam diri mereka, bahwa mereka tidak bisa berbuat maksimal dengan tugas ini, kalau hanya partisipan saja, bukan ketuanya, pasti mereka dengan senang hati akan turut terlibat di sini.

 

Setelah saya selesai berjibaku dengan perasaan kawan kawan di madrasah, berikutnya saya harus berhadapan dengan perasaan yang di rumah, untuk ini saya memang tidak terlalu risau, saya yakin istri saya akan merestui saya ketika mau berangkat ke Lumajang.

 

Saat pertama saya sampaikan niat saya mau ke Lumajang, istri saya sedikit kaget, ya karena yang diketahui bahwa di daerah erupsi gunung pasti rawan dan bahaya, namun setelah saya beri penjelasan, akhirnya paham juga kalau ini bagian tugas saya, kalau sudah soal tugas dan misi, memang istri saya sudah memaklumi dan sangat mendukung.

 

Di hari pemberangkatan, rasanya kurang _afdol_ kalau saya tidak catat juga di sini.

 

Ada banyak cerita dan peristiwa yang saya amati dan rasakan, saya seperti menonton sebuah film 4 dimensi, saya larut dalam sebuah samudera indah yang tak bisa terwakili dengan kata kata.

 

Waktu itu saya berangkat habis shalat subuh, tidak langsung menuju madrasah, karena saya masih ada kewajiban mengajar di pondok, mercusuar yang telah menuntun jiwa dan otak saya selama bertahun2 sampai sekarang dan seterusnya, ini bagian terima kasih yang tidak akan pernah sebanding dengan yang sudah diberikan.

 

Selanjutnya, sehabis pembacaan do’a istigatsah bu Ida minta saya untuk mengucapkan terima kasih kepada semua guru dan siswa.

 

Kemudian saya melakukannya setelah minta ijin kepada kepala madrasah dan pak Abdil Bar waktu itu, tidak lupa saya juga minta do’a dari mereka.

 

Pak Fanani secara khusus juga menyampaikan do’a buat kita yang akan berangkat,

 

Sama seperti pak Fanani,, bu Nurul juga berbuat yang sama, bahkan mendatangi b Arik yang waktu itu sudah ada di atas mobil, ia berbisik.

 

“Hati hati ya, selamat jalan, saya hanya mendoakan dari sini,”

 

Oh ya, secara khusus saya juga berterima kasih kepada seluruh wali kelas, mereka adalah orang tua siswa di madrasah ini, berkat kegigihan mereka, anak anak mau berkorban untuk mereka yang terdampak erupsi Semeru, ini pendidikan empati, tenggang rasa dan lain lain.

 

Bu Masuroh dan bu Rifdah tidak boleh dilupakan, beliau berdua adalah srikandi kita yang ada di MAN utara, di saat kita bersantai bersama keluarga di rumah, mereka tetap beraktifitas seperti biasanya bersama siswi di utara.

 

Kepada Bu Ayu juga kita sampaikan terima kasih, beliau ini seperti sudah paham terhadap kebutuhan dan kesukaan kita saat di atas mobil waktu di perjalanan.

 

Untuk pak Abd. Kholiq dan ibu Rumpani, segala urusan administrasi kedinasan saya hari itu langsung diselesaikan, sekali lagi terima kasih.

 

Untuk b Mamik yang telah mengabadikan pemberangkatan tim peduli erupsi Semeru dengan kamera ponselnya, sesuai rekomendasi miss Arik, kita juga berterima kasih.

 

Beda cerita dengan b Mutam, baliau yang sudah tidak seperti yang dulu lagi, sudah menunggu rombongan di halte bis, di galora Kraksan sejak pukul 06.30, mereka yang dulu sering bepergian bersama b Mutam mungkin tidak akan percaya dengan kabar baik ini.

 

Bu Ida dan bu Mutam sepertinya salah komunikasi soal pakaian, bu Ida pakai baju batik, sedang bu Mutam pakai kaos olah raga lengkap sendirian, tapi sudah diselesaikan secara adat dengan tempo yang sesingkat singkatnya

 

Yang pak Nur Cholis saya merasa terhibur, karena sebelum berangkat, saya pak Cholis, pak Agus dan pak Romdoni terlibat guyonan ringan.

 

“Yang di dekat Semeru menjauh, malah yang jauh ingin mendekat, ini kan aneh,” guyonnya yang membuat kita tertawa.

 

Entah karena kebetulan saja mungkin, di tengah perjalanan ada mobil truk yang mendahului mobil kita, mobil truk itu mengangkut banyak anak babi.

 

Pak Abdi yang duduk di jok depan, tidak menyia nyiakan pemandangam lucu ini dengan mengabadikan di ponsel beliau.

 

Saya tiba2 teringat cerita kiyai saya, Kiyai Khalil waktu ngaji hataman kitab, bulan Ramadan di pondok dulu.

 

Kalau ada orang yang selalu menyalahi kebenaran, menurut beliau itu karakternya sama dengan babi, karena babi termasuk hewan yang kalau ditarik kepalanya dia akan mundur sekuat2nya, tapi kalau ditarik ekornya, justru babi akan lari ke depan. ✒️

 

_*SEKIAN*_

 

_Untuk cerita Tim saat di Lumajang dan perjalanan pulang ke Paiton juga tidak kalah seru, mungkin akan kita sambung di episode berikutnya_ 🤭🤭

 

Wallahu a’lam.